Mungkin ini kisah tentang akibat
chauvunisme di kalangan anak-anak.
Chauvunisme adalah sebuah paham membanggakan ras, ideologi, serta identitas sosial secara berlebihan. Entah siapa yang memulai, saya atau dia. Semuanya terjadi begitu saja, mengalir, dan membekas pada diri bertahun-tahun.
Denpasar 1991Pada awalnya, menjadi seorang Sunda muslim di Denpasar yang mayoritas Hindu terasa amat biasa. Internalisasi keislaman memang ditanamkan ketat. Masa Taman Kanak-kanak saya habiskan di TK Aisyiyah yang tentu seluruh siswanya muslim. Setiap
ba’da subuh dan
ba’da maghrib saya dan teman-teman lainnya belajar mengaji Al Quran dan pelajaran keislaman lainnya di masjid dekat rumah. Dari pengajian itulah saya mulai mengerti bahwa orang-orang Hindu dikategorikan kafir dan ahli neraka. Stigma tentang Hindu mulai tertanam halus. Ada kebencian yang aneh tertanam dalam diri. Belum lagi tetangga Hindu sekitar rumah kesehariannya hanya mabuk, berjudi, dan
tajen di sekitar gardu yang biasa dijadikan Pos Ronda malam. Bukannya menjadi tempat paling menenangkan, melewati gardu itu selalu menyeramkan baik siang ataupun malam.
Denpasar 1993Kebencian itu semakin terpupuk setelah saya memasuki Sekolah Dasar. Saya bersekolah di SDN 2 Pemecutan yang waktu itu satu lingkungan dengan SDN 9 Pemecutan. Dari dua sekolah itu, hanya 11 siswa muslim. Menjadi minoritas ternyata mulai takmenyenangkan. Saat kelas 1 saya duduk di bangku paling depan, berhadapan dengan meja guru. Itu berarti saya berhadapan dengan canang dan dupa. Di benak terpikir bahwa asap dupa itu akan berefek negatif secara spiritual pada diri saya. Dengan pemahaman keislaman yang terbatas, saya melapor kepada ibu. Esoknya ibu datang ke sekolah dan meminta kepada wali kelas agar posisi duduk saya dipindahkan. Akhirnya, teman sebangku saya berpindah duduk di depan
dupa dan
canang tersebut.
Duduk di kelas 1 dan 2 tidak terlalu terasa berat. Ketika memasuki kelas 3, saya harus masuk sekolah siang hari. Sekolah berlangsung pukul 13.00 s.d. 17.00 WITA. Yang menjadi masalah adalah shalat dzuhur dan ashar. Di sekolah tidak ada masjid. Jangankan masjid, kesempatan untuk izin shalat pun tidak diberikan. Akhirnya setiap hari, sebelum dzuhur kami sudah standby di masjid dengan mukena. Saat adzan dzuhur berkumandang kami langsung shalat. Setelah itu saya langsung tancap sepeda merah saya ke sekolah. Pada waktu istirahat –yang bertepatan dengan waktu ashar- saya kembali pulang untuk shalat ashar di rumah. Pengalaman ini tertanam di benak sebagai diskriminasi atas keislaman saya.
Hal baru di kelas 3 adalah kehadiran pelajaran Bahasa Bali. Ini adalah pelajaran paling berat. Mempelajari bahasa asing yang melekat dengan identitas kekafiran sungguh terasa tidak menyenangkan. Belum lagi guru yang mengajar Bahasa Bali juga mengajar pelajaran Agama Hindu. Waktu itu, kepada beliaulah pertama kali saya meminta izin untuk shalat ashar dan nyatanya tidak dizinkan. Makin kuatlah stigma soal pelajaran ini.
Denpasar 1997Tiap awal tahun ajaran, di SDN 2 Pemecutan, mungkin juga di sekolah-sekolah lain, selalu diadakan pertukaran teman sebangku siswa-siswanya. Waktu itu saya memasuki kelas 4 SD. Kami dibariskan di halaman depan kelas. Siswa laki-laki satu baris berbanjar, siswa perempuan pun demikian. Siswa laki-laki yang berbaris sejajar dengan saya, dialah yang akan menjadi teman duduk selama setahun.
Ida Bagus Dwipa, dialah teman sebangku saya nanti. Karena ia adalah siswa pindahan dari sekolah lain, saya baru mengenalnya sesaat setelah kami duduk di sebuah bangku paling pojok, dekat pintu masuk, dan tepat di bawah pura kecil tempat canang disimpan setiap pagi. Sejak saat itu pengalaman buruk sebangku dengan anak berkasta
Brahmana ini dimulai.
Dengan stigma tentang Hindu yang tertanam sejak awal, saya menjalani hari-hari buruk dengan Dwipa. Ternyata perkataan William Shakespeare, yang berbunyi,
"apalah arti sebuah nama" tidak berlaku di Bali kala itu. Setiap nama menggambarkan status sosial yang disandang oleh setiap orang Hindu yang dikenal sebagai kasta.
Ida Bagus (laki-laki) dan
Ida Ayu (perempuan) adalah gelar yang disandang oleh orang yang berkasta Brahmana, kasta tertinggi yang konstituennya adalah keluarga pendeta. Salah satu di antara keluarga besar mereka pasti ada yang menjadi pendeta. Secara ekonomi pun biasanya mereka termasuk orang berada.
Apa yang terjadi pada saya setelah itu? Tempat duduk dan meja kami diberi garis pembatas. Ruang gerak saya amat terbatas. Saya tidak boleh melalui garis pembatas yang ia buat. Jangankan meminjam pinsil, penghapus atau alat tulis lainnya, barang-barang saya tidak boleh melebihi garis pembatas yang sudah dibuat. Ini mungkin hal biasa di kalangan anak-anak, tapi menjadi terasa tidak biasa bagi saya yang mendapatkan diskriminasi keagamaan sejak awal. Bagi saya, identitas sebagai muslim dan pendatang adalah alasan utama perlakuannya. Apalagi pada pelajaran Bahasa Bali yang sudah barang tentu amat dikuasai, teman sebangku saya ini amat hati-hati. Dengan wajah sinis ia berucap, “
kejengat-kejengit sajan ci!” (baca: “kamu nengok-nengok terus!”). Bertanya sedikit kepada rekan yang duduk di belakang kami pun saya selalu dilarang. Padahal saya bertanya bukan pada saat ujian.
Pada suatu hari, salah satu teman merayakan ulang tahunnya dan membawa beberapa kaleng
softdrink. Satu kaleng diminum oleh empat orang. Saya amat kaget ketika teman yang berkasta
Sudra tidak boleh meminum
softdrink sebelum teman sebangku saya meminumnya. Ternyata, Kasta
Brahmana tidak boleh meminum atau memakan makanan bekas kasta di bawahnya. Perlakuan istimewa sudah biasa ia terima dari banyak orang. Nampaknya sikap-sikap aneh yang ia lakukan adalah cara menagih perlakuan istimewa dari saya yang benar-benar tidak mengetahui keistimewaan kastanya. Masih banyak lagi sikap aneh yang ia lakukan. Air mata saya terkuras habis karena sikapnya. Akhirnya beberapa waktu kemudian ayah saya datang ke sekolah dan meminta kepada wali kelas untuk mengganti teman sebangku saya. Setelah kejadian tersebut, saya duduk dengan teman yang berkasta
Waisya dan sudra. Mereka ramah, bersahabat, dan tidak pernah memperlakukan saya seperti Dwipa. Setelah berkali-kali berganti teman sebangku, ternyata sebangku dengan orang kristen lebih menentramkan ketimbang duduk dengan orang Hindu. Lebih tepatnya, duduk dengan orang yang sama-sama pendatang lebih menyenangkan.
Akibat ChauvinismeSeperti yang saya sebutkan di awal, ini adalah akibat
chauvinisme yang terjadi pada anak-anak. Saya dengan keawaman Islam yang kental, dan Dwipa dengan kebrahmanaannya yang lekat. Dia dengan keasingannya sebagai orang Hindu di mata saya dan saya dengan keasingan sebagai orang Sunda di matanya. Sebagai anak-anak, ini pengalaman pertama kami menghadapi perbedaan. Pengetahuan yang kami dapat dari orang yang kami percayai, itulah yang kami pegang pada akhirnya. Saya amat mempercayai pelajaran agama dari ustadz dan dia yang bersikukuh dengan internalisasi kasta di keluarganya. Dua
chauvinisme berbenturan yang akhirnya melahirkan
Xenophobia.
Efek taksadar yang melekat beberapat tahun kemudian adalah perasaan terbebas setelah pada akhir 1998 –semester 2, kelas 6 SD- saya pindah sekolah ke Tasikmalaya. Terbebas dari pelajaran bahasa Bali rasanya sangat menyenangkan. Selain itu, saat mendapatkan ijazah SD, saya mati-matian memperjuangkan tempat lahir di Tasikmalaya karena di akta kelahiran tertulis Denpasar. Saya pun tidak terlalu ambil peduli dengan Bahasa Bali. Setiap ada yang berkata, “
Linda pindahan dari Bali? Bisa Bahasa Bali dong! Coba bicara Bahasa Bali!” Saya selalu menolak. Bahkan tempat wisata yang ada di Bali pun sangat sedikit saya ingat waktu itu. Pengalaman tentang Bali rasanya ingin saya buang jauh-jauh.
Sampai tiba saatnya saya sadar bahwa ayah sudah 32 menjadi warga Denpasar. Ia lebih memilih membeli rumah di Bali daripada di Tasikmalaya. Setelah mempelajari Islam dengan lebih lengkap, akhirnya saya pun paham bahwa Bali tidak lebih dari sebuah tempat tinggal. Bahkan setelah tragedi bom Bali, itu kali pertama saya kembali lagi ke sana dengan gamis dan jilbab lebar. Tidak sedikitpun ada rasa takut dicurigai dengan identitas keislaman karena ayah sudah sangat akrab dengan orang-orang di sekitar rumah. Orang-orang Hindu terpelajar yang berbisnis dengan ayah tidak sedikitpun melakukan diskriminasi.
Pengalaman mengikuti kegiatan Lembaga Dakwah Kampus Universitas Udayana juga menjadi pengobat. Di sana tidak sedikit peserta yang mengikuti mentoring Agama Islam dengan nama Bali. Mereka warga Bali asli yang terlahir muslim. Ini membuat stigma saya terhadap masyarakat asli Bali menghilang. Terakhir saya mengunjungi Bali, Februari lalu,
pura-pura yang berjejer di setiap rumah, saya maknai sebagai bagian dari kebudayaan yang ada di Bali. Toh setiap ada upacara keagamaan yang menyebabkan kemacetan, di jalan raya selalu ada tulisan “
Maaf Ada Upacara Adat.” Secara tidak langsung masyarakat Bali sendiri mengakui bahwa yang mereka kerjakan adalah adat. Salah satu teman pernah berucap, “
Lin, di Bali itu banyak banget thoguht ya!” Saya hanya tertawa lepas mendengan pernyataanya. Stigma tentang Bali yang menjadi tempat maksiyat, pusat turis asing, gudang kekafiran telah saya abaikan. Toh di sana ada juga orang-orang yang berda’wah. Bahkan saat ini sudah mulai banyak TK, SD, dan SMP Islam Terpadu berdiri di sana.
Dua bulan lalu saya kembali menemukan teman-teman sekelas di jejaring sosial. Saya pun kembali menemukan akun Ida Bagus Dwipa. Kami menjadi anggota group alumni SDN 2 Pemecutan. Semuanya sudah menjadi biasa saja. Akhirnya, untuk mengatasi kebencian atas keasingan, penanaman pemahaman tentang keberagaman sebagai sesuatu yang biasa menjadi sebuah keharusan terhadap anak-anak. Orang tua, institusi pendidikan, dan lingkungan harus memberikan pemahaman bahwa berbeda adalah sesuatu yang biasa. Dengan demikian, anak-anak akan terbiasa menerima perbedaan orang lain dan merasa percaya diri dengan keasingannya saat menjadi minoritas. Identitas yang ada pada diri kita adalah karunia yang diberikan Tuhan. Tidak ada satupun anak yang meminta untuk dilahirkan Islam, Hindu, Kristen, atau Yahudi. Jika sejak kecil anak-anak diajari Islam yang benar, mereka akan bangga dengan keislaman dan tidak akan gentar dengan diskriminasi. Jika sejak kecil anak-anak diajari menerima perbedaan, mereka akan mampu menyeru di kalangan beda agama dengan cara yang benar. []
*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti
lomba artikel tentan Xenophobia yang diadain sama
Mbak Wayan Lessy