24 Mei 2012

Lady Gaga: Pornografi dan Komoditas Budaya Kapitalisme


Belum selesai kontroversi buku Irshad Manji yang menjadi penyulut pertentangan antara Islam dan kebudayaan di Indonesia, kini api pertentangan itu kembali disulut dengan kehadiran Lady Gaga. Indonesia sebagai negara yang notabene disebut “Timur” oleh negara-negara Barat akan didatangi oleh penyanyi popular yang menobatkan dirinya sebagai Mother Monster. Keanehan, ketidakbiasaan, dan keliyanan gaya berpakaiannya digadang-gadangkan sebagai simbol kreativitas diri dan manajemennya dalam berseni. Fashionnya yang menurut mayoritas orang timur –mungkin juga barat- terlihat aneh dan porno disebut-sebut  sebagai estetika baru yang merupakan bagian takterpisahkan dari kreativitas seni dan kebudayaan. Seksualitas dan erotisitas yang dieksploitasi dalam video clip lagu-lagunya dimitoskan sebagai kreativitas kontenporer yang modern. Lady Gaga menjadi mitos kemutakhiran selera musik seseorang. Jumlah followernya di twitter mengonstruksi dirinya menjadi mitos dalam dunia musik barat. Seolah, “Nggak tau lagu Lady Gaga berarti gak gaul! Gak bisa nyanyi lagu Lady Gaga berarti bukan penikmat musik sejati.” Padahal lagi-lagi Lady Gaga hanyalah komoditas dari sebuah upaya budaya kapitalisme untuk mempraktekkan politik tubuh.


Komoditas politik tubuh yang mewakili budaya kapitalisme ini kini akan dipertontonkan di Indonesia. Ribuan penonton yang mayoritasnya adalah remaja akan merogoh sakunya –saku orang tuanya- untuk menonton seksualitas, erotisitas (baca: pornoaksi) Lady Gaga ini bulan depan. Filter sosial budaya Indonesia yang “Timur” bekerja keras menghadapi ini. Ormas, tokoh agama, politikus, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat sebagai filter menolak kedatangannya ke Indonesia. Penolakan ini dilakukan karena penampilan Lady Gaga di panggung sudah melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu, dan agama yang ada di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, penentang terbanyak pun adalah ormas, tokoh agama, politikus, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakan yang berlatar Islam. Majelis Ulama Indonesia pun ikut menanggapi karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Namun, penolakan ini selalu dipertentangkan dengan estetika kebudayaan kontenporer. Seolah elemen-elemen masyarakat yang menolak ini fanatik dan tidak mengerti estetika seni kontenporer. Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dituduh tidak ramah terhadap budaya kontenporer. Kebhinekaan yang ada di Indonesia selalu dijadikan kambing hitam oleh pihak-pihak yang merasa paling tahu tentang estetika seni. Bali, koteka, dan keterbukaan pakaian-pakaian adat daerah dijadikan alasan basi tuduhan terhadap Islam.


Kondisi ini mewajibkan kita untuk kembali membuka catatan yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang tentang “Libidosophy: Kapitalisme, Tubuh, dan Pornografi”. Dalam tulisan tersebut pakem-pakem yang digunakan oleh budaya kapitalisme untuk mempertontonkan tubuh perempuan dipaparkan. Benarkah Lady Gaga adalah komoditas budaya kapitalisme? Dalam kacamata budaya kontenporer, apakah estetika yang diperlihatkan oleh Lady Gaga adalah pornografi? Apakah alasan moral, norma, etika, budaya, adat, tabu, dan agama yang diajukan oleh elemen-elemen masyarakat Indonesia bisa dibuktikan dari sisi kebudayaan? Tulisan singkat yang banyak mengutip pendapat Yasraf ini akan memberi sedikit sudut pandang baru kepada kita tentang Lady Gaga dari kacamata budaya kontenporer.


Sistem Budaya Kapitalisme: Pronografi dan Lady Gaga

Berbicara perempuan dan pornografi akan membawa kita pada pembahasan sistem kebudayaan yang kental dengan pronografi dan eksploitasi perempuan di dalamnya. Salah satu sistem budaya yang di dalamnya perempuan (tubuh, tanda, dan hasratnya) dieksploitasi adalah sistem budaya kapitalisme. Kapitalisme yang di dalamnya inheren ideologi patriarki menjadikan perempuan sebagai komoditas melalui pornografi. Tidak hanya sebagai komoditas, tubuh perempuan pun dijadikan metakomoditas yaitu komoditas yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditas lain melalui potensi fisik, tanda, dan hasratnya.


Lady Gaga menjadi salah satu wakil dari komodifikasi hasrat perempuan. Libido perempuan dipertontonkan dan dijadikan ajang eksploitasi ekonomi. Sebagai contoh, dalam video clip Alejandro, Lady Gaga menjadi tanda bagaimana libido perempuan disalurkan, digairahan, dikendalikan atau dijinakkan. Dalam video clip ini Lady Gaga tentu tidak sedang menjual hasratnya. Hasratnya dijadikan objek psikis yang dipertukarkan untuk memproduksi hasrat seksual penontonnya agar tertarik melihat video clipnya. Efek paling diincar sebenarnya hanyalah agar selanjutnya para penonton menonton video clip ini berkali-kali, mendengarkan lagunya, dan mendatangi konsernya.


Secara ideologis, video clip Alejandro ini digadang-gadang sebagai representasi perlawanan perempuan terhadap ideologi patriarki melalui estetika tarian. Hubungan fisik antara laki-laki yang dipertontonkan dalam tarian dilihat sebagai relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai second sex yang lemah, pasif, tidak berdaya dipertontonkan sebagai bagian yang justru sebaliknya. Dalam video clip tersebut Lady Gaga memperlihatkan penguasaannya terhadap fisik penari laki-laki. Perlawanan terhadap ideologi patriarki ini dipertontonkan dalam pornografi sebagai arenanya. Walaupun secara implisit adegan ini adalah kemenangan perempuan sebagai entitas sosial budaya, tetap saja perempuan  menjadi objek komoditas.


Perlawanan ideologis ini tidak selamanya akan ditangkap langsung oleh para penonton yang ada di Indonesia. Penyuka Lady Gaga di Indonesia yang notabene remaja tidak berkepentingan dengan perlawanan perempuan-perempuan di Amerika Serikat terhadap ideologi patriarki. Citra yang tertangkap dalam benak remaja hanya hasrat seksualnya saja bukan nilai estetik sebuah tarian. Gerakat-gerakan estetis sublim menjadi hilang. Yang tertangkap hanyalah gerakan erotis, sensual, seksual yang hanya menghadirkan kesenangan visual yang segera dan rendahan. Ketidaksamaan frekwensi ideologi ini menjadikan estetika Lady Gaga yang diagungkan di Amerika Serikat menjadi estetika kitsch di Indonesia.

 
Lady Gaga: Estetika Kitsch

Terlepas dari simbol-simbol ideologis Kabbalah dan Illuminati yang dibawanya, dari pembacaan paling luar terhadap tarian, gaya berpakaian, dan video-video clipnya, Lady Gaga telah menjadi bagian dari penjual estetika kitsch. Secara sederhana, kitsch merupakan salah satu bentuk selera rendah (bad taste) atau sampah artistik disebabkan rendahnya standar estetika yang digunakan. Pornografi yang dipertontonkan di dalamnya bukan nilai estetika sublim melainkan nilai erotisme, sensualitas, dan seksualitas yang dapat memprovokasi hasrat penontonnya. Pornografi dianggap menjadi bagian dari selera rendah karena secara etimologi istilah porno dalam bahasa Yunani berarti prostitusi pada tingkatan yang paling rendah. Dari kualitas tanda pun, estetika Lady Gaga menjadi representasi dari selera rendah karena terjadi pendangkalan kualitas tanda melalui bombardir detail tubuh perempuan.


Dalam konteks semiotika atau ilmu tanda, setiap tanda mempunyai nilai berdasarkan kemampuannya menghasilkan makna. Ferdinand de Saussure menyebutkan bahwa, “Nilai sebuah kata atau teks terutama atau pertama-tama dinilai dari kemampuannya merepresentasikan gagasan, ide, atau konsep tertentu.” Tidak bisa dipungkiri, video clip Lady Gaga sebagai konstruksi simbol Kabbalah dan Illuminati memiliki nilai yang amat tinggi. Namun, jika gestur, kostum, dan koreografi dipandang sebagai sebuat teks, penonton awam hanya dapat menangkap makna erotis, sensual, seksual, dan libidialnya saja. Nilai semiotik dalam teks lagu dan video clip Lady Gaga menjadi sangat rendah.


Lady Gaga dan Budaya Timur

Di negara-negara kapitalis, tubuh perempuan akan menjadi bahan kreativitas yang semakin lama akan semakin melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu, dan agama. Keuntungan sebesar-besarnya akan diraup oleh negara kapitalis dan efek negatif dari gerakan komodifikasi ini akan merusak moral negara-negara konsumennya, tidak terkecuali Indonesia. Remaja penggemar Lady Gaga mengalami penggiringan otak dengan dominasi muatan sensualitas. Otak mereka didominasi oleh fantasi dan imajinasi seksual. Hal ini dapat merusak kerja otak dan menurunkan nilai moralitas. Di masa depan, peran negara tidak lagi dapat diharapkan dalam mengatur dan mengendalikan berbagai aspek sosial, termasuk komoditas. Negara akan semakin kehilangan kedaulatan dalam mengatur arus globalisasi ekonomi, informasi, dan budaya. Untuk itu, upaya untuk menggerakkan berbagai kekuatan elemen masyarakat seperti ulama, komunitas warga, kekuatan intelektual, kekuatan profesi, diharapkan dapat menghambat kecenderungan mekanisme ekonomi-politik kapitalisme.

Filter kebudayaan di Indonesia sebagai wakil dari budaya timur kini sedang bergerak. Dialog antara pihak yang pro dan kontra terhadap konser Lady Gaga ini sedang berlangsung. Dari pandangan budaya, ternyata pornografi yang menempel pada konsep estetika Lady Gaga memang harus diwaspadai. Tidak hanya karena melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu, dan agama yang berlaku di Indonesia tapi juga karena telah mengeksploitasi tubuh perempuan yang membuka ruang perkembangbiakan pornografi secara tanpa batas, tanpa kendali, dan bahkan nantinya akan melampaui akal sehat. []


Bibliografi:
Amir Piliang, Yasraf. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

12 komentar:

Linda Shabrina mengatakan...

Aku terpanggil untuk nulis sesuatu tentang Lady Gaga. Karena kurang ilmu, banyak ngutip Pak Yasraf. Semoga beliau tidak keberatan :')

Dyah Sujiati mengatakan...

Puanjang Mbak :(

Cinderellanty Chan mengatakan...

Bagus lind, suka :)
Bidikan cermat dr seorang 'sastrawati' :p

Linda Shabrina mengatakan...

Anty: ini kata2 syaikh yasraf semua hehe.. Cuma aku terapkan dilm konteks lady gaga aja..

Iwan Yuliyanto mengatakan...

Berarti sudah siap debat sekarang ya, mbak :)

Linda Shabrina mengatakan...

Mas iwan: baru mengantongi artikel ini aja. saya pasti akan selalu berkata, "menurut Yasraf" dalam diskusi nanti. Semoga alur pikiran ini memagari argumen saya besok ^^

Iwan Yuliyanto mengatakan...

Cara mudahnya untuk merangkum ya bikin simulasi Q-A (Tanya Jawab)

Dengan begitu, akan menjadi mudah ketika beragumen ttg hal yg sulit, krn sudah bisa diprediksi larinya pasti ke arah sana. Masalah LG ini komplek, sampai pejabat negarapun banyak (bahkan termasuk pemuka agama) yg berpihak pada pemikiran liberalism pendukung LG.

Linda Shabrina mengatakan...

Mas iwan: siyaaaap! ^^9

Nina Agustina mengatakan...

Jadi pengen ngobrol langsung lagi ma kamyuuuu, nda...:D

BTW, menanggapi masalah pejabat negara itu, kemarin saya nonton salah satu acara pengajian di TV nasional. Pembicaranya anggota dewan, semua yang diutarakan bagus, tapi ketika ada seorang ibu yang bertanya bagaimana tanggapan beliau tentang konser LG, jawabannya standar pemerintah,"cari aman". Intinya dari pesan yang disampaikan beliau, "ya klo gak suka gak usah nonton."

Linda Shabrina mengatakan...

Teh ninu: hayuu! Kapan??
emang gak bisa dharepin pmerintah mah..

Nina Agustina mengatakan...

aku hari sabtu ini piket, bagaimana klo pulang piket kita ketemuan..;;)

lapar steak ayee..=))

Linda Shabrina mengatakan...

Aku Liqo jam 2 >.

Posting Komentar