1 Jun 2012

Mengenal Allah Lewat Husnudzan


Dengan cara apa kau belajar mengenal-Nya? Ah.. aku hanya ingin bercerita, dengan cara ini aku belajar mengenal-Nya. Dengan berdoa dan berprasangka baik kepada-Nya.


Dalam Quran Dia menggambarkan diri-Nya kepada kita:

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka katakanlah bahawa Allah adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku. Maka henaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran," (Al-Baqarah:186).


Dalam sebuah hadits qudsi Dia mengenalkan diri-Nya kepada kita:

Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, Aku bersamanya (dengan ilmu dan rahmat) bila dia ingat Aku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia menyebut nama-Ku dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat,”
(HR Al-Bukhari 8/171 dan Muslim 4/2061. Lafazh hadits ini riwayat Al-Bukhari).


Ya, Dia yang Maha Dekat, Maha Mengabulkan doa, dan Maha Realitas. Aku belajar dari sesuatu yang hati dan pikiran ini dapat menjangkaunya. Aku belajar dari sesuatu yang aku suka berlama-lama di dalamnya agar kebersamaan dengan-Nya pun semakin lama.


Sebagai manusia, aku adalah hamba-Nya yang paling berkepentingan kepada-Nya dalam hal doa. Kepercayaanku tentang kedekatan-Nya kepadaku mungkin bisa dikatakan sudah dalam dosis yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, dosis husnudzhan dalam diri ini mungkin sudah over. Adakah orang yang over dosis husnudhan? Ahaha! Mungkin kamu yang membacanya bisa tertawa atau bilang *apasiy! Tapi sungguh, dalam hal doa aku adalah manusia paling husnudhan. Jika ada di antara kalian yang berkata "aku lebih husnudhan!" Aku pun akan berkata, "Aku lebih husnudzhan darimu! :p"

Jika disederhanakan dalam 3 pertanyaan:

Berpikir positif itu pekerjaan akal atau hati? jawabanku: akal.

Berdoa itu pekerjaan akal atau hati? jawabanku: hati.

Husnudzhan itu pekerjaan akal atau hati? jawabanku: akal dan hati.

Aku belajar mengenal-Nya dari doa-doaku. Apalah jadinya aku tanpa doa, apalah jadinya aku tanpa harapan, apalah jadinya aku tanpa mimpi. Untunglah Ia yang memerintahku berdoa. Jadi, aku dapat sebebas-bebasnya meminta kebaikan kepada-Nya.


Pada hal-hal yang banyak dikatakan orang sebagai misteri, Allah menyertakan husnudzhan sebagai pemberi penjelasan yang paling jelas. Hal yang paling dianggap abstra oleh semua orang, takdir yang sudah ditentukan dan takdapat ditolak seperti jodoh, kematian, rezeki, dll diperjelas dengan husnudzhan. Saat bicara takdir, aku berpikir tentang ukuran, perhitungan, dan ketetapan-Nya. Sebagai contoh keeksakan ukuran-Nya adalah peristiwa siang dan malam, musim, perbedaan waktu di belahan bumi, dsb. Keeksakan ini tentu berkaitan dengan seluruh komponen alam semesta, termasuk manusia. Allah bahkan telah menentukan berapa ribu kali hujan akan turun di Indonesia sebagai salah satu momen untuk manusia-manusia Indonesia berdoa (pada waktu mustajab). Ia juga mempergilirkan waktu hujan untuk mempergilirkan waktu mustajab di seluruh belahan bumi ini. Ia bahkan telah menentukan, pada hujan ke berapa doa seorang hamba akan dikabulkan. Sekali lagi, ini adalah caraku memahami takdir-Nya melalui doa dan husnudhan. Pengabulan doa-doa kita tentu semua hanya bergantung pada rahmat-Nya. Bahkan tidak ada hujan pun, Allah tetap dapat mengabulkan doa kita. Namun, saat ini aku sedang belajar mengenal-Nya dengan dua pisau bedah: doa dan husnudzhan.



Ia sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Dalam urusan jodoh pun demikian (menurutku). Jika kita menghendaki jodoh kita abstrak, jangan harap Dia akan menjadikannya jelas, karena hati kita juga menghendakinya abstrak. Jika kita sudah berpikir bahwa dia adalah manusia antah berantah yang takpernah kita kenal, jangan harap jodoh kita akan terprediksi. Dia pasti abstrak dan mengejutkan. Bisa jadi dia adalah manusia dari belahan bumi lain, atau bisa jadi dia tetangga dekat kita. Ya, Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Dijodohkan dengan teman kecil, tetangga, teman sebangku, tetap terasa abstrak karena memang dia dimohonkannya datang sebagai sesuatu yang abstrak. Saat meminta jodoh dengan persangkaan yang abstrak, diri kita pasti berprasangka baik bahwa Allah akan menghadirkan orang yang tidak kita kenal sama sekali. Atau dalam keabstrakannya, pasti ada saja lintasan pikiran, "jangan-jangan jodohku adalah teman sekelasku, jangan-jangan kakak kelasku di SMU?" saat pikiran berkata demikian, hati pun akan menerima dan menguatkan doa kita. Doanya jadi acak, upayanya jadi acak.



Seorang akhwat yang senyum-senyum sendiri membayangkan "orang yang tak bisa disebut namanya itu" alias jodoh dengan seperangkat keabstakannya, ia akan memberikan otoritas pilihan kepada murobbiyah atau orangtuanya. Keabstrakan itu mulai diperjelas dengan upaya meminta bantuan kepada murobbiyah atau orangtuanya. Siapa yang akan menjadi jodohnya, tak jauh dari dua pihak itu. Keabstakan itu juga diperjelas dengan kriteria yang ditulis dalam proposal pernikahan. Proposal pernikahan itu adalah gambaran husnudhan pada diri sendiri yang tercermin dalam deskripsi diri dan gambaran doa yang tercermin dalam kriteria pasangan hidup. Keduanya pasti harus selalu dibingkai dengan husnudhan kepada-Nya. Demikianlah versi pertama memperjelas keabstrakan yang dilakukan oleh sebagian jenis akhwat.



Menurutku, berdasarkan asal kata itu, otomatis semua yang menimpa kita dapat kita coba dekati dengan akal dan hati melalui husnudhan. Ikhwan yang dalam hatinya ingin menikah dengan seorang dokter tentu akalnya berpikir untuk mulai bergaul dengan kalangan dokter. Ini adalah ikhtiar untuk menjalankan kehusnudzhanannya. Saat dia husnudzhan bahwa jodohnya akan ditemukan di kalangan dokter tempat dia bergaul, sangat wajar karena sang ikhwan sudah berikhtiar untuk itu. Memang, tidak bergaul dengan dokterpun kita bisa saja menikah dengan dokter jika Allah Swt menghendaku. Namun, yang sedang aku bahas adalah cara mengenali Allah Swt dengan husnudzan. Kehusnudzhanan ini diiringi dengan ikhtiar konkretisasi dalam kehidupan.



Pada bagian ini prosesnya adalah doa, ikhtiar, husnudzan, doa, husnudzan. Setelah seorang ikhwan berdoa untuk mendapatkan istri dari kalangan dokter, ia berikhiar dengan berbaul di kalangan dokter. Pada ikhtiar ini ia kembali berhusnudzan bahwa Allah Swt sedang melihat ikhtiarnya dan menilai kesinkronan antara doa dan ikhtiar. Setelah kehusnudzanan itu terbangun, sang ikhwan berdoa kembali agar setiap gerak langkahnya hanya berdasarkan kehusnudzanannya terhadap Allah Swt dan lurus hanya untuk membuktikan kepada-Nya bahwa dirinya sudah berikhtiar. Setelah berdoa tentang keikhlasan, sang ikhwan kembali menguatkan keyakinannya bahwa dirinya berdoa tentang keikhlasan. Ikhtiarnya bukan dalam rangka mendahului takdir tapi dalam rangka mengongkretkan kehusnudzanannya kepada Allah Swt. Setelah semua upaya dilakukan dan keinginan untuk menikah dengan seorang dokter tercapa, ikhwan tersebut akan semakin yakin bahwa Allah Swt sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Namun, jika Allah Swt tidak menjodohkannya dengan orang yang dimaksud, husnudzan tetap bekerja meyakini bahwa Allah Swt akan memberikan yang lebih baik. Setelah husnudzan, doa, ikhtiar, akhirnya ada tawakkal dan ridho atas keputusan-Nya. Yang terpenting, kita sudah berikhtiar.







Lagi-lagi ini adalah perspektifku sendiri, aku sedang bercerita bukan sedang memengaruhi pembaca. maaf.

*jurnal 2 Febriari 2012
** gambar dari google.com

0 komentar:

Posting Komentar