17 Jun 2012

PRINCESS HOURS: TRADISI VS MODERNITAS


Drama Korea, saat ini sedang marak ditayangkan di berbagai stasiun televisi suasta di Indonesia. Tak seperti telenovela yang hanya biasa dinikmati oleh ibu-ibu rumah tangga, tayangan yang sering membuat penontonnya menangis bombai ini juga dinikmati oleh kalangan remaja. Hal itu terjadi karena drama Korea masih menjadikan cinta sebagai tema utamanya. Kelebihannya, tak hanya cinta seorang anak remaja biasa pada “Sesy Girl”; cinta seorang artis dalam “ Full House “ ; cinta seorang putra mahkota pun disajikan dengan sangat apik dalam “ Princess Hours .“

Princess Hours yang ditayangkan di Indosiar adalah sebuah drama Korea yang memang berlatar waktu tahun 2006.Dalam ceritanya,  saat itu sistem pemerintahan negara Korea masih bersifat Monarki sehingga raja adalah pemimpin negara. Drama korea ini secara umum mengisahkan perjuangan cinta seorang putra mahkota kerajaan.  Karena kepatuhan pada peraturan kerajaan, putra mahkota, yang sering di panggil pangeran (Lee Shin ), bersedia menikah dengan gadis lugu (Shin Chae-kyoung ) yang berasal dari kalangan masyarakat biasa. Peraturan itu ditetapkan berdasarkan surat wasiat yang dibuat oleh raja terdahulu. Pernikahan mereka memang berlangsung dengan berbagai hambatan. Mulai dari kedatangan Yool, sebagai pihak ke tiga, kejahatan ibu Yool yang ingin merebut kembali tahta yang dulu dimilikinya membumbui kisah cinta dalam drama koraea ini.

Pengemasan cerita yang tanpa cela membuat drama seri ini tak hanya dapat dinikmati dari segi alur cerita. Seting, soundtrack, kostum, dan pengambilan gambarnya sangat memperlihatkan kekhasan Korea. Tak salah bila drama seri ini dapat kita sebut “drama seri budaya”. Keunikannya bisa jadi dapat menjadikannya drama korea terbaik tahun ini. Princess Hours dapat menjadi kenangan tak terlupakan di tahun 2006.

Princess Hours, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti “ waktu ( Shin Chae-kyoung ) menjadi putri “. Kisah cinta yang di dalamnya secara tidak langsung mencerminkan bagaimana orang Korea menghormati tradisi, cinta dan pernikahan. Penghormatan terhadap tradisi diperlihatkan lewat kebijakan Baginda Ratu yang tetap melaksanakan perintah raja yang telah wafat untuk menikahkan putra mahkota dengan gadis pilihan raja. Pada awal cerita, baginda Ratu berkata,  “ pernikahan ini adalah untuk memperlihatkan pada rakyat bahwa istana masih memegang teguh peraturan di abad 21 ”. Kepatuhan itu terlihat pula pada kesediaan sang pangeran untuk menikah walaupun dengan keterpaksaan. Di sini juga terlihat bagaimana seorang pangeran dididik untuk menjadi pemimpin negara di masa depan. Kepatuhan adalah salah satu tolak ukur keberhasilan seorang anggota keluarga kerejaan. Kesetiaan rakyat pada istana juga diperlihatkan dengan kesediaan Shin Chae-kyoung ( seorang gadis biasa ) yang pada akhirnya bersedia menikah dan “terkurung” di Istana. “ Ini adalah keputusanku, dan aku akan berusaha menghadapi konsekwensinya. “ Kata Shin Chae-kyoung.

Perjuangan cinta yang dialami oleh putra dan putri mahkota telah memperlihatkan lokalitas negara Korea. Pengemasannya bukan hanya dengan eksplorasi budaya. Namun, ditambahi dengan perbandingan budaya. Tanpa kita sadari, perjuangan cinta putra dan putri mahkota yang merupakan produk kerajaan, telah menjadi pemenang dalam perlombaan dengan cinta Yool. Cinta putra dan putri mahkota merupakan analogi cinta yang dihasilkan budaya Korea yang diwakili oleh kerajaan. Sedangkan cinta Yool merupakan cinta yang dihasilkan oleh budaya Barat, karena Yool baru kembali ke Korea setelah dibesarkan dan menjalani pendidikan di Inggris. Cinta Yool cenderung dicerminkan merugikan dan mendahulukan emosi. Putra mahkota sempat berkata pada Yool, “ Ternyata cintamu pada Chae-kyoung malah membuatnya menderita. “ ( episode 23 ). Peraturan kerajaan juga menjadi jaga menjadi kekuatan cinta bagi permaisuri ( ibu pangeran ) yang tetap mencintai raja sampai sang pangeran menjadi putra mahkota, walaupun sang raja ( suaminya ) tak mencintainya. Hal ini menyiratkan suatu pesan bahwa budaya lokal dapat menjadi kekuatan dan  lebih baik dari budaya luar.

Penghargaan terhadap pernikahan juga sangat kental dalam drama Korea ini. Terlihat ketika pangeran berkata pada sahabat-sahabatnya yang menghina putra mahkota. “ Ingat, jangan hina dia, apapun yang terjadi, Shin Chae-kyoung adalah istriku! “ atau pada saat pangeran sedang mencari putri yang hilang dan menanyakannya pada Hyo-rin .Pangeran berkata

 “ Aku mencarinya, karena, sebelum sebagai apapun, dia adalah istriku. ‘ Pada akhirnya, status sumi istri lebih berharga dari apapun. Itu sebabnya apabila kita berkenalan dengan orang Korea, tak tabu lagi bila mereka bertanya tentang usia kita, dan bertanya apakah kita sudah menikah atau belum. Jika kita belum menikah, mereka tak tabu untuk menanyakan alasan mengapa kita belum menikah.

Misi kebudayaan sangat terlihat dari seting dan penggunaan kostum. Interior dan eksterior yang mendominasi menjadi agen dari tradisionalitas. Furniture yang hightecnologi mewakili modernitas. Hal ini menunjukkan bahwa tradisionalitas dapat dipadukan dengan modernitas. Bahkan lebih ekstrimnya lagi, modernitas hanyalah pelengkap tradisionalitas. Hal ini juga terlihat dari kostum yang digunakan oleh anggota kerajaan. Ratu, dan permaisuri, sebagai wanita senior di kerajaan lebih sering menggunakan pakaian tradisional Korea. Putri cenderung nertral dalam menggunakan baju tradisional Korea. Hal ini menunjukkan fleksibilitas tradisi dalam menyesuaikan diri dengan zaman.

Dalam segi pengambilan gambar, Drama korea ini sangat memperhatikan estetika.  Sebagian besar adegan diambil dalam sebuah bingkai. Bingkai tersebut adalah sebuah sibol yang dapat bersuara nyaring. Bingkai tersebut adalah simbol aturan  atau tradisi. Bahwa apapun yang dilakukan oleh keluarga kerajaan, harus dilandasi aturan tradisi.

Pada akhir cerita, idealisme tradisionalitas diruntuhkan melalui sebuah konflik yang menjadi klimaks cerita ini. Keinginan ibu Yool untuk mendapatkan tahtanya kembali telah membuatnya menghalalkan segala cara. Pembakaran istana menjadi simbol bahwa tradisilah yang akan memusnahkan dirinya sendiri. Hal ini akan terjadi jika tradisi dijalani oleh orang yang tidak dididik oleh tradisi tersebut. Pencerahan yang diterima Shin Chae-kyoung dalam masa pengasingan di luar negeri juga merupakan sebuak dobrakan. Ajaran Islam, kristen, budaya Barat yang modern, menurut Caijin dapat disandingkan dengan budaya timur. Hal ini adalah sebuah kritik yang dibawa drama korea ini pada negaranya, karena banyak masyarakat Korea yang tak beragama.

Dari awal sampai akhir cerita, secara keseluruhan, drama korea ini menceritakan perjuangan cinta putra dan putri mahkota kerajaan di abad 21. Sebuah abad yang terkenal dengan modernitas. Namun, cerita itu lahir dari sebuah peraturan kerajaan sebagai duta tradisionalitas. Akhirnya, drama korea ini adalah  cermin sebuah modernitas yang dijalani untuk mempertahankan keutuhan tradisi.








*maaf kalo tulisan ini kesannya jadul banget. maklum repost dari tulisan 6 tahun lalu :))

3 komentar:

ummuyusuf ahmad mengatakan...

aq juga suka
punya vcd nya kalau pengen tinggal putar hihihi
labih suka drama korea yang berlatar kerajaan krn disitu tdk ada gambaran free sex. kehidupan sex dilakukan pada usia tertentu walaupun mereka menikah di usia muda

kalau yg di sassy girl dulu itu ada contoh free sex nya

Linda Shabrina mengatakan...

heuheu.. sekarang aku udah jarang nonton koreaa. Ini tulisan 6 tahun lalu. Memang siy, hampir semua film korea nggak ada yang save kalo mau selektif.

*mending nggak nonton kali ya kalo selektif banget :))

ummuyusuf ahmad mengatakan...

yang penting jangan ngajak anak kecil nontonnya hhohohoho
kalau yg tua2 kan udah ngerti bedanya ;)

Posting Komentar