27 Jul 2012

[XENOPHOBIA] Sebangku Dengan Brahmana


Mungkin ini kisah tentang akibat chauvunisme di kalangan anak-anak.  Chauvunisme adalah sebuah paham membanggakan ras, ideologi, serta identitas sosial secara berlebihan. Entah siapa yang memulai, saya atau dia. Semuanya terjadi begitu saja, mengalir, dan membekas pada diri bertahun-tahun.

Denpasar 1991

Pada awalnya, menjadi seorang Sunda muslim di Denpasar yang mayoritas Hindu terasa amat biasa. Internalisasi keislaman memang ditanamkan ketat. Masa Taman Kanak-kanak saya habiskan di TK Aisyiyah yang tentu seluruh siswanya muslim. Setiap ba’da subuh dan ba’da maghrib saya dan teman-teman lainnya belajar mengaji Al Quran dan pelajaran keislaman lainnya di masjid dekat rumah. Dari pengajian itulah saya mulai mengerti bahwa orang-orang Hindu dikategorikan kafir dan ahli neraka. Stigma tentang Hindu mulai tertanam halus. Ada kebencian yang aneh tertanam dalam diri. Belum lagi tetangga Hindu sekitar rumah kesehariannya hanya mabuk, berjudi, dan tajen di sekitar gardu yang biasa dijadikan Pos Ronda malam. Bukannya menjadi tempat paling menenangkan, melewati gardu itu selalu menyeramkan baik siang ataupun malam.
 
Denpasar 1993

Kebencian itu semakin terpupuk setelah saya memasuki Sekolah Dasar. Saya bersekolah di SDN 2 Pemecutan yang waktu itu satu lingkungan dengan SDN 9 Pemecutan. Dari dua sekolah itu, hanya 11 siswa muslim. Menjadi minoritas ternyata mulai takmenyenangkan. Saat kelas 1 saya duduk di bangku paling depan, berhadapan dengan meja guru. Itu berarti saya berhadapan dengan canang dan dupa. Di benak terpikir  bahwa asap dupa itu akan berefek negatif secara spiritual pada diri saya. Dengan pemahaman keislaman yang terbatas, saya melapor kepada ibu. Esoknya ibu datang ke sekolah dan meminta kepada wali kelas agar posisi duduk saya dipindahkan. Akhirnya, teman sebangku saya berpindah duduk di depan dupa dan canang tersebut.



Duduk di kelas 1 dan 2 tidak terlalu terasa berat. Ketika memasuki kelas 3, saya harus masuk sekolah siang hari. Sekolah berlangsung pukul 13.00 s.d. 17.00 WITA. Yang menjadi masalah adalah shalat dzuhur dan ashar. Di sekolah tidak ada masjid. Jangankan masjid, kesempatan untuk izin shalat pun tidak diberikan. Akhirnya setiap hari, sebelum dzuhur kami sudah standby di masjid dengan mukena. Saat adzan dzuhur berkumandang kami langsung shalat. Setelah itu saya langsung tancap sepeda merah saya ke sekolah. Pada waktu istirahat –yang bertepatan dengan waktu ashar- saya kembali pulang untuk shalat ashar di rumah. Pengalaman ini tertanam di benak sebagai diskriminasi atas keislaman saya.

Hal baru di kelas 3 adalah kehadiran pelajaran Bahasa Bali. Ini adalah pelajaran paling berat. Mempelajari bahasa asing yang melekat dengan identitas kekafiran sungguh terasa tidak menyenangkan. Belum lagi guru yang mengajar Bahasa Bali juga mengajar pelajaran Agama Hindu. Waktu itu, kepada beliaulah pertama kali saya meminta izin untuk shalat ashar dan nyatanya tidak dizinkan. Makin kuatlah stigma soal pelajaran ini.

Denpasar 1997

Tiap awal tahun ajaran, di SDN 2 Pemecutan, mungkin juga di sekolah-sekolah lain, selalu diadakan pertukaran teman sebangku siswa-siswanya. Waktu itu saya memasuki kelas 4 SD. Kami dibariskan di halaman depan kelas. Siswa laki-laki satu baris berbanjar, siswa perempuan pun demikian. Siswa laki-laki yang berbaris sejajar dengan saya, dialah yang akan menjadi teman duduk selama setahun. Ida Bagus Dwipa, dialah teman sebangku saya nanti. Karena ia adalah siswa pindahan dari sekolah lain, saya baru mengenalnya sesaat setelah kami duduk di sebuah bangku paling pojok, dekat pintu masuk, dan tepat di bawah pura kecil tempat canang disimpan setiap pagi. Sejak saat itu pengalaman buruk sebangku dengan anak berkasta Brahmana ini dimulai.


Dengan stigma tentang Hindu yang tertanam sejak awal, saya menjalani hari-hari buruk dengan Dwipa. Ternyata perkataan William Shakespeare, yang berbunyi, "apalah arti sebuah nama" tidak berlaku di Bali kala itu. Setiap nama menggambarkan status sosial yang disandang oleh setiap orang Hindu yang dikenal sebagai kasta. Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan) adalah gelar yang disandang oleh orang yang berkasta Brahmana, kasta tertinggi yang konstituennya adalah keluarga pendeta. Salah satu di antara keluarga besar mereka pasti ada yang menjadi pendeta. Secara ekonomi pun biasanya mereka termasuk orang berada.


Apa yang terjadi pada saya setelah itu? Tempat duduk dan meja kami diberi garis pembatas. Ruang gerak saya amat terbatas. Saya tidak boleh melalui garis pembatas yang ia buat. Jangankan meminjam pinsil, penghapus atau alat tulis lainnya, barang-barang saya tidak boleh melebihi garis pembatas yang sudah dibuat. Ini mungkin hal biasa di kalangan anak-anak, tapi menjadi terasa tidak biasa bagi saya yang mendapatkan diskriminasi keagamaan sejak awal. Bagi saya, identitas sebagai muslim dan pendatang adalah alasan utama perlakuannya. Apalagi pada pelajaran Bahasa Bali yang sudah barang tentu amat dikuasai, teman sebangku saya ini amat hati-hati. Dengan wajah sinis ia berucap, “kejengat-kejengit sajan ci!” (baca: “kamu nengok-nengok terus!”). Bertanya sedikit kepada rekan yang duduk di belakang kami pun saya selalu dilarang. Padahal saya bertanya bukan pada saat ujian.


Pada suatu hari, salah satu teman merayakan ulang tahunnya dan membawa beberapa kaleng softdrink. Satu kaleng diminum oleh empat orang. Saya amat kaget ketika teman yang berkasta Sudra tidak boleh meminum softdrink sebelum teman sebangku saya meminumnya. Ternyata, Kasta Brahmana tidak boleh meminum atau memakan makanan bekas kasta di bawahnya. Perlakuan istimewa sudah biasa ia terima dari banyak orang. Nampaknya sikap-sikap aneh yang ia lakukan adalah cara menagih perlakuan istimewa dari saya yang benar-benar tidak mengetahui keistimewaan kastanya. Masih banyak lagi sikap aneh yang ia lakukan. Air mata saya terkuras habis karena sikapnya. Akhirnya beberapa waktu kemudian ayah saya datang ke sekolah dan meminta kepada wali kelas untuk mengganti teman sebangku saya. Setelah kejadian tersebut, saya duduk dengan teman yang berkasta Waisya dan sudra. Mereka ramah, bersahabat, dan tidak pernah memperlakukan saya seperti Dwipa. Setelah berkali-kali berganti teman sebangku, ternyata sebangku dengan orang kristen lebih menentramkan ketimbang duduk dengan orang Hindu. Lebih tepatnya, duduk dengan orang yang sama-sama pendatang lebih menyenangkan.


Akibat Chauvinisme

Seperti yang saya sebutkan di awal, ini adalah akibat chauvinisme yang terjadi pada anak-anak. Saya dengan keawaman Islam yang kental, dan Dwipa dengan kebrahmanaannya yang lekat. Dia dengan keasingannya sebagai orang Hindu di mata saya dan saya dengan keasingan sebagai orang Sunda di matanya. Sebagai anak-anak, ini pengalaman pertama kami menghadapi perbedaan. Pengetahuan yang kami dapat dari orang yang kami percayai, itulah yang kami pegang pada akhirnya. Saya amat mempercayai pelajaran agama dari ustadz dan dia yang bersikukuh dengan internalisasi kasta di keluarganya. Dua chauvinisme berbenturan yang akhirnya melahirkan Xenophobia.


Efek taksadar yang melekat beberapat tahun kemudian adalah perasaan terbebas setelah pada akhir 1998 –semester 2, kelas 6 SD- saya pindah sekolah ke Tasikmalaya. Terbebas dari pelajaran bahasa Bali rasanya sangat menyenangkan. Selain itu, saat mendapatkan ijazah SD, saya mati-matian memperjuangkan tempat lahir di Tasikmalaya karena di akta kelahiran tertulis Denpasar. Saya pun tidak terlalu ambil peduli dengan Bahasa Bali. Setiap ada yang berkata, “Linda pindahan dari Bali? Bisa Bahasa Bali dong! Coba bicara Bahasa Bali!” Saya selalu menolak. Bahkan tempat wisata yang ada di Bali pun sangat sedikit saya ingat waktu itu. Pengalaman tentang Bali rasanya ingin saya buang jauh-jauh.


Sampai tiba saatnya saya sadar bahwa ayah sudah 32 menjadi warga Denpasar. Ia lebih memilih membeli rumah di Bali daripada di Tasikmalaya. Setelah mempelajari Islam dengan lebih lengkap, akhirnya saya pun paham bahwa Bali tidak lebih dari sebuah tempat tinggal. Bahkan setelah tragedi bom Bali, itu kali pertama saya kembali lagi ke sana dengan gamis dan jilbab lebar. Tidak sedikitpun ada rasa takut dicurigai dengan identitas keislaman karena ayah sudah sangat akrab dengan orang-orang di sekitar rumah. Orang-orang Hindu terpelajar yang berbisnis dengan ayah tidak sedikitpun melakukan diskriminasi.


Pengalaman mengikuti kegiatan Lembaga Dakwah Kampus Universitas Udayana juga menjadi pengobat. Di sana tidak sedikit peserta yang mengikuti mentoring Agama Islam dengan nama Bali. Mereka warga Bali asli yang terlahir muslim. Ini membuat stigma saya terhadap masyarakat asli Bali menghilang. Terakhir saya mengunjungi Bali, Februari lalu, pura-pura yang berjejer di setiap rumah, saya maknai sebagai bagian dari kebudayaan yang ada di Bali. Toh setiap ada upacara keagamaan yang menyebabkan kemacetan, di jalan raya selalu ada tulisan “Maaf Ada Upacara Adat.” Secara tidak langsung masyarakat Bali sendiri mengakui bahwa yang mereka kerjakan adalah adat. Salah satu teman pernah berucap, “Lin, di Bali itu banyak banget thoguht ya!” Saya hanya tertawa lepas mendengan pernyataanya. Stigma tentang Bali yang menjadi tempat maksiyat, pusat turis asing, gudang kekafiran telah saya abaikan. Toh di sana ada juga orang-orang yang berda’wah. Bahkan saat ini sudah mulai banyak TK, SD, dan SMP Islam Terpadu berdiri di sana.


Dua bulan lalu saya kembali menemukan teman-teman sekelas di jejaring sosial. Saya pun kembali menemukan akun Ida Bagus Dwipa. Kami menjadi anggota group alumni SDN 2 Pemecutan. Semuanya sudah menjadi biasa saja. Akhirnya, untuk mengatasi kebencian atas keasingan, penanaman pemahaman tentang keberagaman sebagai sesuatu yang biasa menjadi sebuah keharusan terhadap anak-anak. Orang tua, institusi pendidikan, dan lingkungan harus memberikan pemahaman bahwa berbeda adalah sesuatu yang biasa. Dengan demikian, anak-anak akan terbiasa menerima perbedaan orang lain dan merasa percaya diri dengan keasingannya saat menjadi minoritas. Identitas yang ada pada diri kita adalah karunia yang diberikan Tuhan. Tidak ada satupun anak yang meminta untuk dilahirkan Islam, Hindu, Kristen, atau Yahudi. Jika sejak kecil anak-anak diajari Islam yang benar, mereka akan bangga dengan keislaman dan tidak akan gentar dengan diskriminasi. Jika sejak kecil anak-anak diajari menerima perbedaan, mereka akan mampu menyeru di kalangan beda agama dengan cara yang benar. []



*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba artikel tentan Xenophobia yang diadain sama Mbak Wayan Lessy

45 komentar:

Linda Shabrina mengatakan...

semacam pengakuan hehe..

firsty chrysant mengatakan...

Waahhh bagus tulisannya..^^

Linda Shabrina mengatakan...

hehe.. alhamdulillah..

*tetep nyari yang typo takut adaaa ajah..

Catur Wahono mengatakan...

widiiii kerennn mbaaak..idenya bner2 sipp...^_^b

blm pernah ke bali huhuhu..
skrg udah g phobia lg ya.....
miris ya dengan kasta2 yg masih berlaku jg dibali.hmm..

Linda Shabrina mengatakan...

ini curhaaaaaaaaaaaaat ;))

sekarang daku udah nggak ambil pusing sama mereka..
Mau ke Bali? Nanti pas nikahanku dateng ya.. ;)

Catur Wahono mengatakan...

maauuuu.....ongkos plus semuanya ditanggung yak :)))))

cieee di bali eung...apakah dengan si dwipa itu :))

Iwan Yuliyanto mengatakan...

Masa kecilmu seru banget ya, di lingkungan teman dg kondisi yg rentan friksi. Saya perhatikan dari sharing ini tidak ada upaya dari tenaga pendidik di sana (saat itu) untuk menghilangkan diskriminasi, terutama yg berkaitan dg waktu-waktu sholat.

Selamat menjadi peserta lomba menulis ttg Xenophobia. Keep up the good work.

Linda Shabrina mengatakan...

aamiin.. semoga nikahnya sama orang kayaa...

*kagaaaak! Ogaaaah! Si Dwipa parah banget foto FBnya.. gak berpendidikan dah pokoknya..

Linda Shabrina mengatakan...

Mas, guru agama Islam saya waktu itu dengan guru agama Islam sepupu saya yg sekarang kelas 1 SD masih tetep sama T^T nama beliau Pak Saliman. Betapa berat amanah beliau sebagai guru agama.. Sekarang sekolah saya udah gak ada,,, dua sekolah itu digabung jadi SDN 9 Pemecutan. Yang agamis cuma guru agama..

Mengapa waktu itu takada upaya,,, karena yang lain pada gak mikirin sholat T^T

Sampe sekarang adik-adik kelas saya yang laki-laki masih susah buat Jumatan T^T


*Mas Iwan yang ngajakin lomba hehe.. ^^9

AKP Agus "Anduk" Setiawan mengatakan...

Jiah . . . . . . .
Masa' kasta tinggi tak berpendidikan ?!
:-D

Catur Wahono mengatakan...

ahahahha...dasar org brahmana ya eh

Linda Shabrina mengatakan...

berpendidikan kan gak cuma dari titel akademik, tapi sikap :p

Maaf-maaf aja ya,, saya aja malu liat PP FBnya,, moso (maaf) ciuman bibir dijadiin PP FB siy --a

Linda Shabrina mengatakan...

iyaaa... dasaaaar :))))

Iwan Yuliyanto mengatakan...

Coba bantu mereka (adik-adik kelasmu) dg mengirim surat ke Dinas Pendidikan setempat, agar para pejabat yg berwenang memperhatikan ini dan menegur sekolah tsb:

Pasal 29 UUD 1945:
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Marto Art mengatakan...

flagged

aziz rizki mengatakan...

waaa
ternyata begitu ya
thanx for sharing ya lind
seruw ^^

Romi :. mengatakan...

: )

susie ncuss mengatakan...

ya Ampyuunn.... masih ada ya orang2 katrok dalam pemasangan profil picture -____-"

Marto Art mengatakan...

Maksudnya apa jeng?

Romi :. mengatakan...

Dari pengajian itulah saya mulai mengerti bahwa orang-orang Hindu dikategorikan kafir dan ahli neraka.

Tapi kamu tetep yakin kan ukhtiy sama fakta ini?

Beidewei, salut. Selamat menebar kebaikan dan kebenaran Islam di pulau dewata.

realist craftsman istp mengatakan...

setuju bgt soal pendidikan anak2 tentang keberagaman.

kisah yg menarik, mbak. saya gak pernah mengalami dididik chauvinisme di masa kanak2, sehingga gak mengalami seperti di atas. begitu dahsyat ya efeknya terhadap anak2.

Linda Shabrina mengatakan...

Pasti sudah ada yg mengupayakan.. tapi sistem sosial di sana seperti sesuatu yang dimaklumi dan gak bisa dibantah.. beberapa waktu lalu ada berita ttg pelarangan jilbab di sekolah negeri.. Itulah kenapa banyak aktivis yang bikin sekolah IT di sana,,, biar jadi alternatif..

Linda Shabrina mengatakan...

makasi ^^8

mau komen di jurnal bapak, tapi udah kebanyakan yang komen dan susah nyari tempat komennya :D

Jurnal ini juga terinspirasi dari jurnal Bapak hehe..


*manggil Bapak, salah gak ya :D

Linda Shabrina mengatakan...

masa kecil (amat) bahagia :D

Linda Shabrina mengatakan...

kalau di Islam ada menjaga izzah

Kalau di kristen ada menjaga kekudusan

entahlah dalam agama hindu, aku belum nemu :)

Linda Shabrina mengatakan...

tetep yakin dong bradeer :p

dulu yg aku tahu: islam adalah ritual. yang gak shalat, puasa, dll dia kafir. begitulah anak-anak bukan?

dulu Islam belum aku pahami sebagai jalan hidup yang sempurna. Dulu aku belum tahu kalau orang-orang hindu itu jahiliyah karena belum datang kepada mereka penjelasan. mereka sesat karena memang belum ada yang memberi tahu jalan yang benar. Hasilnya, aku benci sama mereka.. ditambah lagi diskriminasi yang aku alami --a

Linda Shabrina mengatakan...

sebetulnya ada efek negatif dan positifnya siy.. kalau cauvinisme agama, efek positifnya anak-anak sudah taat melasanakan (ritual) ibadah sejak kecil. Apalagi kalau anak-anak itu jadi minoritas, ritual adalah identitas buat mereka *itu yg saya rasakan. Banyak teman sekelas yg Islam, tapi mereka cuek dengan sholat.


Yang terberat waktu bulan Ramadhan, saya dan beberapa teman selingkungan shaum di antara teman-teman yang mayoritas hindu. Banyak teman muslim yang gak shaum,padahal kami sudah kelas 5 waktu itu..

Efek buruk chauvinisme agama adalah fanatisme. Aku juga gak sepakat dengan itu. Soalnya, aku masih inget waktu ada temen muslim yang nggak puasa, aku teriakin "Dasar anak setan!" --a Paraaaah baaangeeet kalo dipikirin sekarang, sarkas :D

Wayan Lessy mengatakan...

Terima kasih sumbangan naskahnya..saya flagged dl ya..nanti balik lg. :)

Wayan Lessy mengatakan...

Turut prihatin membaca kisah masa sekolah mbak Linda. Sepertinya, orang-orang yg ada di sekeliling mbak Linda kurang menyadari kebutuhan mbak Linda untuk menghadapi kondisi menjadi minoritas di tengah masyarakat yg budaya dan tradisinya amat kuat. Sangat dapat dipahami bagaimana beratnya, apalagi untuk seorang anak kecil.

Menurut hemat saya internalisasi agama itu adalah hal yg baik untuk mentransfer pengetahuan dan nilai2 fundamental keagamaan dalam keluarga, dan alangkah baiknya jika proses internalisasi tersebut juga menjadi sarana untuk mempersiapkan generasi berikutnya agar siap untuk beristiqomah, bersabar, dalam kondisi berada di tengah tengah masyarakat yg berbeda keyakinan, tradisi dan budaya.

:) Secara personal (dalam skala sempit di Bali -- saya katakan skala sempit, sebab di beberapa budaya dan suku lain keberadaan "kasta" inipun juga ada bukan?), saya juga mengenal orang lain semacam Dwipa. Yakni tipikal orang yang hanya mengerti privilige yang dimiliki kasta Brahmana, tanpa menyadari tanggung jawab yang dipikulnya sebagai pengemban kasta Brahmana. Alhamdulillah, saya mengenal jauh lebih banyak lagi orang-orang dari kasta Ksatria dan Brahmana yang jauh berbeda dari Dwipa. Yaitu yang terdidik, yang berpengetahuan luas, yang mengerti cara membawa diri dengan baik dan yang mengemban tanggung jawabnya dalam masyarakat adat tanpa mengagung-agungkan previlige yg dimilikinya. Apalagi terhadap orang yg berkeyakinan berbeda dengannya dan berasal dari luar masyarakat mereka.

Tentu sebagai warga Bali, mbak Linda kenal ungkapan: "Celebingkah beten biu, gumi linggah ajak liu..." ya? Ini salah satu ungkapan yang saya suka dan mengesankan dari para kerabat dan sahabat dari Bali (hihi..sampai saya tulis di Home-page MP saya malah)

Ah..semoga saja apa yg mbak Linda harapkan dalam paragraf penutup tulisan ini (dan yg saya juga harapkan) terhimbaukan ke banyak khalayak dan diterima sebaik-baiknya sebagai masukan. Amin.

Terima kasih atas dukungan dan sumbangan tulisan serta pengalaman pribadinya untu kegiatan menulis ttg Xenophobia ini ya mbak Linda.

Linda Shabrina mengatakan...

Melihat nama depan mbak Wayan Lessy, awalnya saya ragu membuat artikel ini, khawatir salah referensi. Tapi, saya pikir artikel ini adalah pengalaman saya pribadi, perbedaan referensi hanya berupa perbedaan perspektif.. apalagi ini adalah pengalaman anak-anak.. Sangat wajar kalau ada yang meleset.

Benar sekali,, keperdanaan semua pengalaman saya, hanya dimaknai oleh orangtua dan lingkungan saya sebagai sesuatu yang hanya akan terlalui seperti yang dialami anak-anak biasa. padahal pengalam kanak-kanak berbekas kuat setelah dewasa. Kalau ingat Bali, yang terkenang adalah upaya keras saya mengayuh sepeda saat mengejar waktu shalat.

Soal Dwipa, memang nampaknya hanya terjadi pada Brahmana yang anak-anak. Pengalaman hidup mereka masih terbatas, hanya antara rumah dan sekolah. Wawasan mereka pasti amat sempit tentang pluralitas, begitupun saya yang masih kecil waktu itu. Ksatria dan Brahmana dewasa yang berpendidikan pasti lebih luwes dan bijak..

Hope so, nggak ada diskriminasi karena SARA di dunia ini ^^8
Mbak Lessy lebih sering berkeliling dunia,,, mupeeeng saya,,,semoga secepatnya bisa mengikuti jejakmu..


Note to My Self:
Alakullihal.. Allah Maha Menjaga, Ia tidak akan membiarkan kita takkuat menghadapi apapun di dunia ini, bila memang yang kita pegang hanya Dia. Dunia ini hanya sementara, ujian atau diskriminasi apapun nggak usah dihadapi dengan berlebihan,,, biasa-biasa sajalah.. Apapun pasti terlalui kalau berpegangnya hanya kepada-Nya.

titin titan mengatakan...

adaa, typo.

lupa lagi dimana. panjaang ;d

Linda Shabrina mengatakan...

hoax kalo gak ada kutipannya :p

Wayan Lessy mengatakan...

:)) syukurlah mbak Linda mengabaikan.keraguan itu ya? Wayan Lessy nama panggilan saya mbak. Bapak saya Bali, ibu saya Jawa mbak. Saya dekat dengan kedua pihak keluarga, dan karena yg masih ada sampai kini adalah kakek nenek saya yg ada di Bali, skrg saya lebih seri.g ke Bali drpd ke Surabaya. Waktu saya pertama kali pakai jilbab, th 1993, kala kedua orang tua saya sendiri menentangnya, kakek sayalah (yg beragama Hindu) yg membela saya dan mendukung. :) besar bgt arti dukungan beliau, apalagi saat itu jangankan di Bali, di Jakarta saja masih jarang dan gak semarak sekarang anak SMA negeri berjilbab. :)

Linda Shabrina mengatakan...

Subhanallah.. setiap orang dapat ujian dan pertolongannya masing-masing dari Allah ya ^^

Wayan Lessy mengatakan...

--- LOCKED ---

carrot soup mengatakan...

mewek gw, liat cak marto komen jg di sini

semoga terus istiqomah sampai akhir hayat, aamiiin

Linda Shabrina mengatakan...

Caarotsoup: aamiin

Cinderellanty Chan mengatakan...

pengen komen macem2, eh sampe komennya omali aku pengen keawa dulu wkwkwkwkwkwk
peace ya oooommm martooo

Cinderellanty Chan mengatakan...

nda, masa kecilmu amatlah kereeen heheheee
suka sama tulisan nda yang ini
sukaaaaaa begete ^^

Linda Shabrina mengatakan...

beuuraaat basa etamah hehehe

Cinderellanty Chan mengatakan...

pastiiii
di gadis juga dulu beurat ngalamin penolakan demi penolakan keluarga jawa padanya
tapi skrng mah jadi unik oge ceritana hahaha

Linda Shabrina mengatakan...

*tosss!*

Cinderellanty Chan mengatakan...

geuning tulisan kamu iyeu geus lila lindutttt
30 juli wkwkwkwk aku anu ngomporin kakarek nulis sapeuting
abisan bingung dr kecil-besar lingkungan rata2 homogen :D
nya paling beda2 kondisi, NU-NII (nyasar kadieu, untung bisa salamet)-tarbiyah

Linda Shabrina mengatakan...

teu gahool pisan ieu emak-emak.. puguh geus lila pisaaan :p

Cinderellanty Chan mengatakan...

teu OL OL ti kamari iyeu
baru bisa OL ayeunaaaaaaa
paling OL di hp, etage terbatas geuningan, miskin quota hahahaha

Posting Komentar